Teori Belajar Piere Van hiele dan Benyamin S. Bloom

TEORI BELAJAR VAN HIELE DAN BENYAMIN S.BLOOM

Sekilas tentang Piere Van Hiele
Dua tokoh pendidikan matematika dari Belanda, yaitu Pierre Van Hiele dan istrinya, Dian Van Hiele-Geldof, pada tahun 1957 sampai 1959 mengajukan suatu teori mengenai proses perkembangan yang dilalui siswa dalam mempelajari geometri. Dalam teori yang mereka kemukakan, mereka berpendapat bahwa dalam mempelajari geometri para siswa mengalami perkembangan kemampuan berpikir melalui tahap-tahap tertentu.Teori Van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie Van Hieledan dan Dina Van Hiele-Geldof sekitar tahun 1950-an telah diakui secara internasional dan memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri sekolah. Uni Soviet dan Amerika Serikat adalah contoh negara yang telah mengubah kurikulum geometri berdasar pada teori Van Hiele (Anne, 1999). Pada tahun 1960-an, Uni Soviet telah melakukan perubahan kurikulum karena pengaruh teori Van Hiele (Crowley, 1987:1 dan Anne, 1999). Sedangkan di Amerika Serikat pengaruh teori Van Hiele mulai terasa sekitar permulaan tahun 1970-an (Burger & Shaughnessy, 1986:31 dan Crowley, 1987:1). Sejak tahun 1980-an, penelitian yang memusatkan pada teori Van Hiele terus meningkat (Gutierrez,1991:237 dan Anne, 1999).

Tingkat kognitif menurut Van Hiele
Beberapa penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa penerapan teori Van Hiele memberikan dampak yang positif dalam pembelajaran geometri. Bobango (1993:157) menyatakan bahwa pembelajaran yang menekankan pada tahap belajar Van Hiele dapat membantu perencanaan pembelajaran dan memberikan hasil yang memuaskan. Senk (1989:318) menyatakan bahwa prestasi siswa SMU dalam menulis pembuktian geometri berkaitan secara positif dengan teori Van Hiele. Berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa konsekuensi teori Van Hiele adalah konsisten. Burger dan Shaughnessy (1986:47) melaporkan bahwa siswa menunjukkan tingkah laku yang konsisten dalam tingkat berpikir geometri sesuai dengan tingkatan berpikir Van Hiele, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran geometri dengan pembelajaran model Van Hiele lebih efektif daripada pembelajaran konvensional. Selanjutnya Husnaeni (2001:165) menyatakan bahwa penerapan model Van Hiele efektif untuk peningkatan kualitas berpikir siswa. Tahapan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui siswa dalam pembelajaran geometri, menurut Van Hiele (dalam Kristiyanto : 2007) adalah sebagai berikut:
  • Level 0. Tingkat Visualisasi. Tingkat ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan (wholistic). Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciri-ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu suatu bangun bernama persegi panjang, tetapi ia belum menyadari ciri-ciri bangun persegi panjang tersebut.
  • Level 1. Tingkat Analisis. Tingkat ini dikenal sebagai tingkat deskriptif. Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun merupakan persegi panjang karena bangun itu “mempunyai empat sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku”.
  • Level 2. Tingkat Abstraksi. Tingkat ini disebut juga tingkat pengurutan atau tingkat relasional. Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada tingkat ini siswa sudah memahami pelunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegi panjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegi panjang.
  • Level 3. Tingkat Deduksi Formal. Pada tingkat ini siswa sudah memahami perenan pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri. Pada tingkat ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir tersebut.
  • Level 4. Tingkat Rigor. Tingkat ini disebut juga tingkat metamatematis. Pada tingkat ini, siswa mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan berubah. Sehingga, pada tahap ini siswa sudah memahami adanya geometri-geometri yang lain di samping geometri Euclides.
Menurut Van Hiele, semua anak mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain. Selain itu, menurut Van Hiele, proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru dan proses belajar yang dilalui siswa.

Implementasi Toeri Piere Van Hiele dalam Proses Pembelajaran
Untuk meningkatkan suatu tahap berpikir ke tahap berpikir yang lebih tinggi Van Hiele mengajukan pembelajaran yang melibatkan 5 fase (langkah), yaitu; informasi (information), orientasi langsung (directed orientation), penjelasan (explication), orientasi bebas (free orientation), dan integrasi (integration).
Fase 1 : Informasi (information)
Pada awal fase ini, guru dan siswa menggunakan tanya jawab dan kegiatan tentang obyek-obyek yang dipelajari pada tahap berpikir yang bersangkutan. Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa sambil melakukan observasi. Tujuan kegiatan ini adalah :
Guru mempelajari pengetahuan awal yang dipunyai siswa mengenai topik yang di bahas.
Guru mempelajari petunjuk yang muncul dalam rangka menentukan pembelajaran selanjutnya yang akan diambil.
Fase 2 : Orientasi langsung (directed orientation)
Siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang dengan cermat disiapkan guru. Aktifitas ini akan berangsur-angsur menampakkan kepada siswa struktur yang memberi ciri-ciri untuk tahap berpikir ini. Jadi, alat ataupun bahan dirancang menjadi tugas pendek sehingga dapat mendatangkan repon khusus.
Fase 3 : Penjelasan (explication)
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, siswa menyatakan pandangan yang muncul mengenai struktur yang diobservasi. Di samping itu untuk membantu siswa menggunakan bahasa yang tepat dan akurat, guru memberi bantuan seminimal mungkin. Hal tersebut berlangsung sampai sistem hubungan pada tahap berpikir ini mulai tampak nyata.
Fase 4 : Orientasi bebas (free orientation)
Siswa mengahadapi tugas-tugas yang lebih komplek berupa tugas yang memerlukan banyak langkah, tugas-tugas yang dilengkapi dengan banyak cara, dan tugas-tugas open ended. Mereka memperoleh pengalaman dalam menemukan cara mereka sendiri, maupun dalam menyelesaikan tugas-tugas. Melalui orientasi diantara para siswa dalam bidang investigasi, banyak hubungan antara obyek-obyek yang dipelajari menjadi jelas.
Fase 5 : Integrasi (Integration)
Siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Guru dapat membantu dalam membuat sintesis ini dengan melengkapi survei secara global terhadap apa-apa yang telah dipelajari siswa. Hal ini penting tetapi, kesimpulan ini tidak menunjukkan sesuatu yang baru.
Sekilas tentang Benyamin S.Bloom
Menurut Nurochim (2013 : 14-15) Benyamin S. Bloom adalah ahli pendidikan yang terkenal sebagai pencetus konsep taksonomi belajar. Taksonomi belajar adalah pengelompokan tujuan berdasarkan domain atau kawasan belajar. Taksonomi tujuan-tujuan dari Bloom ini disebut dengan “Taksonomi Bloom” dapat menjelaskan tentang kualitas hasil pendidikan. Tujuan langsung pendidikan adalah perubahan kualitas kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Klasifikasi Domain Belajar
Peningkatan ini tidak sekadar meningkatkan belaka, tetapi peningkatan yang hasilnya dapat dipergunakan meningkatkan taraf hidupnya sebagai pribadi, pekerja, profesional, warga masyarakat, warga negara, dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hasil pendidikan diberikan kepada lingkungan dan diterima oleh lingkungan, sebagai masukan yang digunakan sesuai kepentingannya. Dapat ditegaskan bahwa belajar adalah perubahan kualitas kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk meningkatkan taraf hidupnya sebagai pribadi, sebagai masyarakat, maupun sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Bloom (dalam Nurochim , 2013 : 14-15) ada tiga domain belajar yaitu :
Cognitive Domain (Kawasan Kognitif) adalah kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek intelektual atau secara logis yang bisa diukur dengan pikiran atau nalar. Kawasan ini terdiri dari :
1. Pengetahuan (Knowledge)
2. Pemahaman (Comprehension)
3. Penerapan (Aplication)
4. Penguraian (Analysis)
5. Memadukan (Synthesis)
6. Penilaian (Evaluation)
Affective Domain (Kawasan Afektif) adalah kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral, dan sebagainya. Kawasan ini terdiri dari:
1. Penerimaan (receiving / attending)
2. Sambutan (responding)
3. Penilaian (valuing)
4. Pengorganisasian (organization)
5. Karakterisasi (characterization) 
Psychomotor Domain (Kawasan Psikomotorik) adalah kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem saraf dan otot (neuromuscular system) dan fungsi psikis. Kawasan ini terdiri dari :
1. Kesiapan (set)
2. Meniru (imitation)
3. Membiasakan (habitual)
4. Adaptasi (adaption)


Implikasi teori Pembelajaran Benyamin S.Bloom

Menurut Asri (2012 : 77-78) melalui taksonomi Bloom inilah telah berhasil memberikan inspirasi kepada banyak pakar pendidikan dalam mengembangkan teori-teori maupun praktek pembelajaran. Pada tataran praktis, taksonomi Bloom ini telah membantu para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan-tujuan belajar yang akan dicapai, dengan rumusan yang mudah dipahami. Berpijak pada taksonomi Bloom ini pulalah para praktisi pendidikan dapat merancang progam-progam pembelajarannya. Setidaknya di Indonesia, taksonomi Bloom ini telah banyak dikenal dan paling populer di lingkungan pendidikan. Keseluruhan tujuan pendidikan dibagi atas hierarki atau taksonomi menurut Benjamin Bloom (dalam Syaiful, 2009: 33) menjadi tiga kawasan (domain) yaitu:

Domain kognitif mencakup kemampuan intelektual mengenal lingkungan yang terdiri atas enam macam kemampuan yang disusun secara hierarkis dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks yaitu pengetahuan (kemampuan mengingat kembali hal-hal yang telah dipelajari), pemahaman (kemampuan menangkap makna atau arti sesuatu hal), penerapan (kemampuan mempergunakan hal-hal yang telah dipelajari untuk menghadapi situasi-situasi baru dan nyata), analisis (kemampuan menjabarkan sesuatu menjadi bagian-bagian sehingga struktur organisasinya dapat difahami), sintesis (kemampuan memadukan bagian-bagian menjadi satu keseluruhan yang berarti), dan penilaian (kemampuan memberikan harga sesuatu hal berdasarkan kriterian intern, kelompok, ekstern, atau yang telah ditetapkan terlebih dahulu);

Domain afektif mencakup kemampuan-kemampuan emosional dalam mengalami dan menghayati sesuatu hal yang meliputi lima macam kemampuan emosional disusun secara hierarkis yaitu: kesadaran (kemampuan untuk ingin memperhatikan sesuatu hal), partisipasi (kemampuan untuk turut serta atau terlibat dalam sesuatu hal), penghayatan nilai (kemampuan untuk menerima nilai dan teikat kepadanya), pengorganisasian nilai (kemampuan untuk memiliki sistem nilai dalam dirinya), dan karakterisasi diri (kemampuan untuk memiliki pola hidup dimana sistem nilai yang terbentuk dalam dirinya mampu mengawasi tingkah lakunya); dan

Domain psikomotor yaitu kemampuan-kemampuan motorik menggiatkan dan mengkoordinasikan gerakan terdiri dari gerak refleks (kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan yang terjadi secara tak sengaja dalam menjawab sesuatu perangsang), gerak dasar (kemampuan melakukan pola-pola gerakan yang bersifat pembawaan dan terbentuk dari kombinasi gerakan-gerakan refleks), kemampuan preseptual (kemampuan menterjemahkan perangsang yang diterima melalui alat indera menjadi gerakan-gerakan yang tepat), kemampuan jasmani (kemampuan dan gerakan-gerakan dasar merupakan inti untuk memperkembangkan gerakan-gerakan yang terlatih), gerakan-gerakan terlatih (kemampuan melakukan gerakan-gerakan canggih dan rumit dengan tingkat efisiensi tertentu), dan komunikasi nondiskrusif (kemampuan dengan isyarat gerakan badan).


DAFTAR PUSTAKA

Anne, T. 1999. The Van Hiele Models of Geometric Thought.
(http://euler.slu.edu/teach_material/van_hiele_model_of_geometry.html,diakses 2 Februari 2002).

Bobango, J.C.. 1993. Geometry for All Student: Phase-Based Instruction. Dalam Cuevas (Eds).
Reaching All Students With Mathematics.Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics,Inc.

Burger, W.F. & Shaughnessy, J.M. 1986. Characterizing the Van Hiele Levels of Development in
Geometry. Journal for Research in Mathematics Education. 17(I):31-48.

Budiningsih, Asri. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Jakarat : Rineka Cipta.

Crowley, M.L. 1987. The Van Hiele Model of the Geometric Thought. Dalam Linquist, M.M. (eds) Learning and Teaching Geometry, K-12.Virginia: The NCTM, Inc.

Gutierrez, A., Jaime, A. dan Fortuny, J.M.. 1991. An Alternative Paradigmto Evaluate The Acquisition of The Van Hiele Levels. Journal for Research in Mathematics Education. 22
(3): 237-257.

Husnaeni. 2001. Membangun Konsep Segitiga Melalui Penerapan Teori Van Hiele Pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar. Tesis tidak diterbitkan Malang: PPS UM.

Kristiyanto , AL. Pembelajaran Matematika berdasar teori belajar Van Hiele. (http://kris-21.blogspot.co.id/2007/12/pembelajaran-matematika-berdasar-teori.html, diakses 4 Desember 2007.

Nurochim. 2013. Perencanaan Pembelajaran Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Sagala, Syaiful. 2013. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sejarah Matematika Yunani dan Perkembangannya

Sejarah Matematika Perkembangan Geometri Analitik Abad Ke-17

Cosinus Arah Sebuah Segmen